My Diary of a Life

Minggu, 26 Juli 2020

Quarter Life Crisis Katanya

Umur dua puluh tahunan ada yang bilang Quarter Life Crisis. Rentang umur di seperempat abad  banyak pendewasaan kembali dan usaha untuk meraih mimpi. Umur di mana mempertanyakan apa arti dan tujuan hidup dan pencapaian yang diharapkan. Pertemuan jodoh, pencapaian karir, ataupun keraguan menjalani passion, ataupun mungkin yang lainnya. Kalian yang di fase yang sama mungkin bisa menambahkan hal apa saja yang diragukan dan membuat berbagai pertanyaan di kala merenung.

Di bulan Juli 2020 ini, kini aku berumur 24 tahun. Sepuluh hingga lima belas tahun lalu, aku mungkin membayangkan diriku di umur 24 tahun layaknya orang-orang 24 tahun pada sinetron, film, atau acara televisi yang kutonton. Saat iku hanya berpikir bahwa hidup adalah perjuangan adalah sesuatu yang tak nyata. Mungkin karena latar belakangku yang alhamdulillah, aku bersyukur, keluargaku termasuk dari keluarga yang berkecukupan dan, yah, sangat dimanja dan dilindungi oleh kedua orang tua dan kakak-kakakku. Berbeda dengan beberapa orang, saat di masa 10-15 tahun lalu, mereka harus berjuang membanting tulang karena kondisi keuangan yang pas-pasan dan mungkin kehilangan sosok orang tuanya.

Hidup memang perjuangan, sebuah kalimat yang benar-benar nyata. Berjuang mencari uang untuk makan, keperluan lainnya, dan menabung untuk keperluan di masa mendatang dan mimpi (mungkin). Yah, entah kenapa aku merasa menjadi seseorang yang berorientasi pada uang dan kekayaan saat menginjak umur ini. Tidak salah memang, tak ada yang gratis dan semua membutuhkan uang. Tetapi, di sisi lain, tidak semua hal membutuhkan uang, karena kita tidak akan selamanya hidup di dunia dan tak selamanya uang akan berjaya di dunia. Tak selalu orang kaya dengan harta yang melimpah disebut orang kaya. Anggap saja ini opini pribadi dan terinspirasi oleh berbagai opini yang lain.

Di masa ini, rasanya wajar mempunyai perasaan sedih dan tak mau kalah karena ditinggal nikah oleh teman baik, teman SD, SMP, SMA, kuliah, tetangga, kenalan, atau teman lainnya, Berperasaan seperti itu mungkin wajar. Tetapi, nikah bukanlah kompetisi, bukan? Pernikahan bukan sesuatu yang mudah untuk diputuskan, mencari seseorang yang bukan dari keluarga kita, namun menjadi seseorang yang akan kita dampingi seumur hidup dan bahkan di kehidupan akhirat nanti, kemudian bertanggung jawab atas amanah yang diberikan yang Allah, membangun silaturrahmi dengan keluarga yang awalnya kita tak kenal, patuh dan setia mendampingi seseorang yang kita pilih, sampai akhir hayat atau setelahnya. 

Terkadang, aku mempertanyakan di mana jodohku, bagiku yang seumur hidup tidak pernah menjalin hubungan yang disebut "pacaran" atau mempunyai seseorang yang disebut "kekasih". Entah jodoh harus dijemput atau ditunggu, ada yang bilang wanita hanya bisa menunggu, ada yang bilang wanita bisa juga menjemput jodohnya,  Entah mana yang benar. Aku percaya wanita hanya bisa menunggu, akan tetapi kenyataannya, yang ditunggu tak pernah datang. Realita itu pernah membuatku berpikir bahwa aku harus menjemput, tetapi segala usaha dan pengorbanan waktu selama menjemput, aku merasa hal itu sia-sia. Aku sempat kaget bila ada yang percaya bahwa pria yang hanya bisa menunggu. Ah, ini membuatku bingung.

Perbaikan diri? Benar, mungkin aku yang manja dan tak mandiri ini harus memperbaiki diri untuk segala hal yang aku pertanyakan selama fase ini. Mau ke mana aku nanti, mau jadi apa aku nanti, mau bersama siapa aku nanti. Usaha memperbaiki diri selalu diiringi dengan tangisan putus asa lalu mencoba untuk berdiri lalu menangis lalu bangkit dan begitu seterusnya. Selalu ada ragu, apakah aku akan dapt menemukan jawaban dari semua pertanyaan dan keraguanku.
Read More

Total Tayangan Halaman